Taman Zaman - Ruwatan, merupakan tradisi yang telah berkembang di dalam masyarakat Jawa selama berabad-abad. Ruwatan dipraktikkan oleh berbagai lapisan masyarakat: baik orang kaya maupun miskin, kalangan kurang terpelajar atau terpelajar.6 Pada awalnya ruwatan, menurut tradisi Hindu, dikaitkan dengan penyucian atau pembebasan para dewa yang terkutuk karena mereka melakukan kesalahan. Mereka dikutuk menjadi makhluk lain (manusia atau binatang). Agar kembali menjadi dewa mereka harus diruwat. Namun, dalam perkembangannya ruwatan menjadi “sebuah upacara untuk membebaskan orang dari nasib buruk yang akan menimpa.” Orang-orang ini dianggap perlu dibebaskan dari terkaman Batara Kala karena mereka “ternoda.”
Mengingat mengakarnya tradisi ruwatan di dalam masyarakat Jawa dan pengaruhnya yang luas, artikel ini bermaksud membahasnya secara khusus. Pembahasan mengenai tradisi ruwatan dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama berisi penjelasan khusus mengenai hal ikhwal ritual ruwatan antara lain: mitos Batara Kala, orang-orang yang harus diruwat, dan tata cara ruwatan. Kedua, akan dieksplorasi pandangan dunia seperti apa yang melatarbelakangi ritual ruwatan. Ketiga, penulis akan menanggapi tradisi ruwatan, tentunya dari terang firman Tuhan.
Dalam prakteknya, ruwatan bervariasi; meski demikian ada tiga unsur yang biasa ada dalam ritual ruwatan, yaitu: pementasan wayang kulit lakon (cerita) Murwakala (Jawa: murwa berarti “kuno,” kala berarti “waktu”) yang memuat kisah asal-mula Batara Kala, orang-orang yang diruwat (yang disebut sukerta), dan sesajen. Bagian ini akan membahas ketiga unsur tersebut dan diakhiri dengan penjelasan tentang tata cara ritual ruwatan.
Orang-orang sukerta
Secara umum, orang-orang sukerta dibagi menjadi dua, pertama, orang dengan keadaan tertentu dari lahirnya dan kedua, orang yang melakukan sesuatu yang dianggap kurang pantas dalam masyarakat Jawa (Jawa: ora ilok). Mengenai siapa yang berotoritas menentukan orang-orang ini dan atas dasar apa orang-orang ini termasuk golongan sukerta, tidak terlalu jelas.Menurut Paul Hiebert, ada berbagai reaksi masyarakat terhadap anomali (bila kita menggolongkan orang-orang sukerta sebagai anomali) salah satunya adalah menganggapnya sebagai suatu hal yang “kotor.” Untuk “membersihkannya,” mereka harus menjalani ritual-ritual tertentu (lih. Paul G. Hiebert, R. Daniel Shaw dan Tite Tiénou, Understanding Folk religion: a Christian response to Popular Beliefs and Practices [Grand Rapids: Baker, 1999] 210-211).Orang-orang yang menjadi mangsa Batara Kala disebut sukerta atau orang-orang “ternoda” (Jawa: suker artinya “kotor,” susuker berarti “kotoran,” dari bahasa Sanskerta kirt berarti “kotor, ternoda”). Daftar orang-orang sukerta mengalami perubahan dari waktu ke waktu.16 Di dalam Pustaka raja Purwa (jilid I h. 194), Ranggawarsita menuliskan 136 jenis orang yang masuk di dalam daftar orang-orang sukerta.17 Sedangkan menurut serat Murwakala karangan Raden Mas Citrakusuma, terdapat 147 jenis manusia yang termasuk sukerta.18Di pihak lain, dalam “Pakem Ruwatan Murwa Kala” Javanologi yang berasal dari sumber serat Centhini (Sri Paku Buwana V) terdapat enam puluh macam orang yang disebut sukerta.19 Sedang serat sarasilah Wayang Purwa karya S. Padmosoekotjo, malah hanya menyebutkan dua puluh dua jenis orang sukerta.20 Berikut ini adalah enam puluh macam orang-orang sukerta menurut serat Centhini:.
- Ontang-anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan
- Uger-uger Lawang, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak ada anak yang meninggal
- Sendhang Kapit Pancuran, yaitu tiga orang anak, yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang kedua perempuan
- Pancuran Kapit sendhang, yaitu tiga orang anak, yang sulung dan yang bungsu perempuan sedang anak yang kedua laki-laki
- Anak Bungkus, yaitu anak yang ketika lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi (plasenta)
- Anak Kembar, yaitu dua orang kembar putra atau kembar putri atau kembar dampit (seorang laki-laki dan seorang perempuan)
- Kembang sepasang (sepasang bunga) yaitu dua orang anak yang kedua-duanya perempuan
- Kendhana-kendhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
- Saramba, yaitu empat orang anak yang semuanya laki-laki
- Srimpi, yaitu empat orang anak yang semuanya perempuan
- Mancalaputra atau Pandawa, yaitu lima orang anak yang semuanya laki-laki
- Mancalaputri, yaitu lima orang anak yang semuanya perempuan
- Pipilan, yaitu lima orang anak yang terdiri dari empat orang anak perempuan dan satu orang anak laki-laki
- Padangan, yaitu lima orang anak yang terdiri dari empat orang laki-laki dan satu orang anak perempuan
- Julung Pujud, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam
- Julung Wangi, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari
- Julung sungsang, yaitu anak yang lahir tepat jam dua belas siang
- Tiba Ungker, yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal
- Jempina, yaitu anak yang baru berumur tujuh bulan dalam kandungan sudah lahir
- Tiba sampir, yaitu anak yang lahir berkalung usus
- Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan
- Wahana, yaitu anak yang lahir di halaman atau pekarangan rumah
- Siwah atau salewah, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki kulit dua macam warna, misalnya hitam dan putih
- Bule, yaitu anak yang dilahirkan berkulit dan berambut putih (albino)
- Kresna, yaitu anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam
- Walika, yaitu anak yang dilahirkan berwujud kerdil
- Wungkuk, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung bungkuk
- Dengkak, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung menonjol, seperti punggung onta
- Wujil, yaitu anak yang lahir dengan badan cebol atau pendek
- Lawang Menga, yaitu anak yang dilahirkan bersamaan keluarnya candikala yaitu ketika warna langit merah kekuning-kuningan
- Made, yaitu anak yang lahir tanpa alas (tikar)
- Orang yang ketika menanak nasi, merobohkan dandhang (tempat menanak nasi)
- Memecahkan pipisan dan mematahkan gandik (alat landasan dan batu penggiling untuk menghaluskan ramu-ramuan obat tradisional)
- Orang yang bertempat tinggal di dalam rumah yang tak ada tutup keyong-nya
- Orang tidur di atas kasur tanpa seprai (penutup kasur)
- Orang yang membuat pajangan atau dekorasi tanpa samir atau daun pisang
- Orang yang memiliki lumbung atau gudang tempat penyimpanan padi dan kopra tanpa diberi alas dan atap
- Orang yang menempatkan barang di suatu tempat (dandhang, misalnya) tanpa ada tutupnya
- Orang yang membiarkan kutu tetap hidup
- Orang yang berdiri di tengah-tengah pintu
- Orang yang duduk di depan (ambang) pintu
- Orang yang selalu bertopang dagu
- Orang yang gemar membakar kulit bawang
- Orang yang mengadu suatu wadah atau tempat (misalnya dandhang diadu dengan dandhang)
- Orang yang senang membakar rambut
- Orang yang senang membakar tikar dengan bambu (galar)
- Orang yang senang membakar kayu pohon kelor
- Orang yang senang membakar tulang
- Orang yang senang menyapu sampah tanpa dibuang atau dibakar sekaligus
- Orang yang suka membuang garam
- Orang yang senang membuang sampah lewat jendela
- Orang yang senang membuang sampah atau kotoran di bawah tempat tidur
- Orang yang tidur pada waktu matahari terbit
- Orang yang tidur pada waktu matahari terbenam (wayah surup)
- Orang yang memanjat pohon di siang hari bolong atau jam dua belas siang (wayah bedhug)
- Orang yang tidur di waktu siang hari bolong jam dua belas siang
- Orang yang menanak nasi, kemudian di tinggal pergi ke tetangga
- Orang yang suka mengaku hak orang lain
- Orang yang suka meninggalkan beras di dalam lesung (tempat penumbuk nasi)
- Orang yang lengah, sehingga merobohkan jemuran wijen (biji-bijian)
Sesajen
Sesajen adalah salah satu elemen yang penting dalam ritual ruwatan. Tujuan pemberian sesajen adalah untuk pengagungan kepada Sang Mahapencipta, arwah nenek moyang, para roh penguasa (tempat tinggal, desa, dan negara), serta permohonan agar diberi perlindungan, kesejahteraan dan keselamatan. Macamnya sesajen bervariasi,23 tetapi biasanya terdiri dari tujuh jenis yaitu:(1) hasil pertanian seperti: padi, jagung, kelapa, semangka, ketela pohon, dan sebagainya;
(2) alat pertanian antara lain: linggis, topi petani (caping), celutit, dan lain-lain;
(3) alat dapur contohnya: panci, penggorengan, sendok sayur, alat pengukus dan lain-lain;
(4) ternak/unggas: sapi, kerbau, angsa, itik, ayam, burung merpati, dan lain-lain;
(5) kain;
(6) alat tidur;
(7) makanan seperti: rujak, lauk pauk lengkap, nasi uduk, dan sebagainya.
Tata Cara ruwatan
Mengenai tata cara ruwatan, sekali lagi, terdapat bermacam-macam versi dan setiap versi itu dianggap absah. Dalam upacara ruwatan, yang memegang peran penting ialah dalang. Dalang tidak hanya memainkan pagelaran wayang Murwakala tetapi juga memimpin acara dan memanjatkan mantra-mantra yang khusus.Berikut ini secara garis besar, tata cara ruwatan menurut salah satu versi:
- Sungkeman (bersujud). Pada mata acara ini para sukerta bersujud di hadapan orang tua masing-masing untuk memohon doa restu agar upacara berjalan dengan selamat
- Kirab. Orang-orang sukerta berjalan bersama orang tua dan keluarganya dengan membawa sesajen yang dipersembahkan menuju pada tempat pertunjukkan
- Dalang menerima daftar orang sukerta dan wayang kulit Batara Kala untuk selanjutnya mementaskan lakon Murwakala babak pertama
- Dalang membacakan mantra-mantra yang intinya supaya orang-orang sukerta terbebas dari terkaman Batara Kala
- Upacara pemotongan rambut. Dalang memotong rambut para sukerta
- Pementasan wayang Murwakala babak kedua
- Siraman. Dalang memandikan para sukerta dengan air bunga. Air itu berasal dari tujuh mata air yang dicampurkan dalam pada sebuah wadah atau ember
- Setelah itu para sukerta diangkat anak oleh dalang
Sumber: Diadaptasi dari RUWATAN DAN PANDANGAN DUNIAYANG MELATARBELAKANGINYA karya PANCHA W. YAHYA dalam veritas 8/1 (April 2007) 25-48