Oleh Alam WangsaUngkara- Metafisika adalah cabang filsafat yang menyelami hakikat sejati dari realitas, melampaui apa yang dapat dilihat atau disentuh. Ia menanyakan pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti "Apa itu keberadaan?", "Mengapa kita ada di sini?", dan "Apa makna di balik penderitaan atau kesulitan?". Dalam konteks kehidupan manusia, metafisika menawarkan cara pandang yang lebih luas tentang mengapa orang sering merasa kesulitan dalam hidup, sekaligus mengaitkannya dengan pencarian jati diri.
Kesulitan sebagai Bagian dari Keberadaan
Dari perspektif metafisika, kesulitan bisa dipandang sebagai elemen inheren dari eksistensi manusia. Aristoteles, misalnya, dalam Metaphysics-nya, menyatakan bahwa segala sesuatu yang ada memiliki tujuan akhir atau telos. Namun, mencapai tujuan itu tidaklah mudah karena dunia material penuh dengan ketidaksempurnaan. Heidegger, filsuf modern, juga berbicara tentang Dasein—keberadaan manusia yang selalu berada dalam proses "menjadi". Dalam proses ini, kesulitan muncul sebagai cerminan keterbatasan kita sebagai makhluk yang terikat waktu dan ruang.
Pertanyaan jati diri seperti "Siapa saya sebenarnya dalam perjalanan ini?" atau "Apa tujuan akhir dari semua kesulitan yang saya alami?" menjadi relevan di sini. Kesulitan, dalam pandangan ini, bukan sekadar hambatan, tetapi bagian dari dinamika eksistensi yang mendorong kita untuk mencari tahu hakikat diri.
Persepsi dan Makna Pribadi
Metafisika juga mengajak kita merenungkan bahwa kesulitan sering kali bersumber dari cara kita memandang dunia. Jean-Paul Sartre, dalam Being and Nothingness, menulis, “Manusia pertama-tama melemparkan dirinya ke dalam suatu urusan, lalu baru menyadari dirinya sebagai ada.” Kebebasan untuk menciptakan makna ini bisa terasa membebani, terutama ketika kita menghadapi ketidakpastian atau kegagalan. Apa yang dianggap sulit oleh seseorang mungkin biasa bagi orang lain, menunjukkan bahwa kesulitan bersifat subjektif dan terkait erat dengan persepsi pribadi.
Pertanyaan seperti "Apa yang saya cari dari hidup ini?" atau "Mengapa saya merasa terbebani oleh kebebasan saya sendiri?" muncul sebagai panggilan untuk menyelami jati diri. Metafisika menunjukkan bahwa kesulitan bisa menjadi cermin yang memantulkan siapa kita dan apa yang kita anggap penting.
Ketegangan antara Jiwa dan Dunia
Banyak tradisi metafisika percaya adanya dualitas antara jiwa dan dunia material. Plato, dalam Phaedo, mengatakan, “Jiwa lebih menyerupai yang tak terlihat, abadi, dan ilahi, sedangkan tubuh terikat pada yang terlihat dan fana.” Ketegangan ini sering kali menjadi sumber kesulitan: jiwa mendambakan kebebasan dan kebenaran abadi, sementara tubuh dan dunia material menjerat kita dalam keterbatasan. Dalam Advaita Vedanta, dunia dianggap maya (ilusi), dan kesulitan muncul ketika kita terlalu melekat pada ilusi tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan seperti "Apakah ada bagian dari diri saya yang melampaui kesulitan ini?" atau "Bagaimana saya bisa menemukan kedamaian di tengah keterbatasan dunia?" mengarahkan kita pada pencarian jati diri yang lebih dalam. Kesulitan, dalam hal ini, bisa dilihat sebagai undangan untuk menjembatani dualitas tersebut.
Mengapa Orang Merasa Sulit?
Secara sederhana, metafisika menunjukkan bahwa kesulitan muncul karena manusia hidup di persimpangan antara yang sementara dan yang abadi, antara keinginan dan kenyataan, antara ego dan esensi sejati. Orang merasa hidup itu sulit karena mereka mencari kepastian di dunia yang tidak pasti atau kebahagiaan dalam hal-hal yang fana. Seperti yang dikatakan oleh Lao Tzu dalam Tao Te Ching, “Ketika kamu menyadari tidak ada yang kurang di dunia ini, seluruh dunia menjadi milikmu.” Kesulitan sering kali adalah panggilan untuk bertanya: “Apa yang lebih besar dari semua ini?”—sebuah dorongan untuk melampaui sekadar bertahan hidup menuju pencarian makna dan identitas sejati.
Pertanyaan jati diri seperti "Apakah makna sejati dari keberadaan saya?" atau "Bagaimana saya bisa menyelaraskan diri dengan sesuatu yang lebih besar?" menjadi kunci untuk memahami mengapa kesulitan terasa begitu nyata. Dalam metafisika, jawaban atas pertanyaan ini tidak selalu pasti, tetapi proses bertanya itu sendiri adalah bagian dari perjalanan menuju kesadaran diri.
Penutup
Metafisika tidak menawarkan solusi instan untuk menghapus kesulitan, tetapi memberikan kerangka untuk memahaminya sebagai bagian dari eksistensi dan pencarian jati diri. Kesulitan bukanlah musuh, melainkan guru yang mengajak kita menyelami pertanyaan-pertanyaan besar: “Siapa saya?”, “Mengapa saya di sini?”, dan “Apa yang ada di balik semua ini?”. Dengan merangkul misteri keberadaan, kita mungkin menemukan bahwa kesulitan bukan akhir, melainkan awal dari pengenalan diri yang lebih mendalam.
Daftar Referensi
- Aristoteles. (2016). Metaphysics. Terjemahan oleh W. D. Ross. Oxford: Oxford University Press.
- Heidegger, Martin. (1962). Being and Time. Terjemahan oleh John Macquarrie & Edward Robinson. New York: Harper & Row.
- Plato. (2002). Phaedo. Terjemahan oleh G. M. A. Grube. Indianapolis: Hackett Publishing Company.
- Sartre, Jean-Paul. (1956). Being and Nothingness. Terjemahan oleh Hazel E. Barnes. New York: Philosophical Library.
- Lao Tzu. (2006). Tao Te Ching. Terjemahan oleh Stephen Mitchell. New York: Harper Perennial.