Mengapa Orang Merasa Sulit?

Oleh Alam Wangsa Ungkara - Mengapa Orang Merasa Sulit? Kita mulai dengan berbagai pertanyaan seputar uang, harta, teman, pasangan hidup dan kebahagian serta pertolongan sejati

Baik, mari kita bahas secara mendalam tentang mengapa orang merasa sulit dalam hidup, dengan merujuk pada perspektif metafisika dan ilmu jiwa (psikologi), sambil memulai dari berbagai pertanyaan seputar uang, harta, teman, pasangan hidup, kebahagiaan, hingga pertolongan sejati. Aku akan menjelaskan ini dengan bahasa yang alami dan mudah dipahami.

Mengapa Orang Merasa Sulit? Pertanyaan dan Realitas Hidup

Hidup sering kali terasa sulit karena kita menghadapi pertanyaan-pertanyaan eksistensial yang mengguncang:

  • Uang: "Mengapa aku tak pernah merasa cukup meski sudah bekerja mati-matian?"
  • Harta: "Apakah kekayaan benar-benar menjamin ketenangan?"
  • Teman: "Kenapa aku masih merasa sendirian di tengah keramaian?"
  • Pasangan hidup: "Adakah seseorang yang benar-benar ditakdirkan untukku?"
  • Kebahagiaan: "Apa itu kebahagiaan, dan mengapa begitu sulit kujangkau?"
  • Pertolongan sejati: "Di mana aku menemukan kekuatan sejati saat semua terasa runtuh?"

Kesulitan ini bukan hanya soal keadaan luar, tetapi juga pergulatan batin. Mari kita telusuri lebih dalam melalui metafisika, ilmu jiwa, dan perspektif Islam.


Perspektif Metafisika: Hakikat Kesulitan di Balik Dunia Fisik

Metafisika menyelami apa yang ada di balik realitas kasat mata—esensi jiwa, makna hidup, dan hubungan kita dengan yang Maha Kuasa atau alam semesta. Dalam konteks ini, kesulitan bisa dilihat sebagai bagian dari desain eksistensi.

  1. Uang dan Harta
    Plato, filsuf besar Yunani, pernah berkata, “Kekayaan adalah hamba yang baik, tetapi tuan yang buruk” (Wealth is a good servant but a bad master). Dalam metafisika, materi seperti uang dan harta dianggap sementara, sedangkan jiwa kita abadi. Ketika kita terpaku pada kekurangan materi, kita kehilangan fokus pada hakikat sejati—kebutuhan jiwa akan makna.
    Dalam Islam, Al-Qur’an mengingatkan, “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia, tetapi amal kebajikan yang kekal lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (QS. Al-Kahf: 46). Kesulitan soal uang muncul saat kita salah menempatkan prioritas—mengejar duniawi ketimbang abadi.
  2. Teman dan Pasangan Hidup
    Aristoteles menulis dalam Nicomachean Ethics, “Tanpa teman, tak ada yang memilih untuk hidup, meskipun ia memiliki segala kebaikan lain” (Without friends, no one would choose to live, though he had all other goods). Metafisika melihat hubungan sebagai cerminan jiwa—kita tertarik pada orang lain untuk menemukan bagian dari diri kita sendiri.
    Dalam Islam, Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya” (HR. Abu Dawud). Kesulitan dalam hubungan mungkin menandakan kita belum selaras dengan jiwa kita sendiri, sehingga sulit terhubung secara mendalam dengan orang lain.
  3. Kebahagiaan
    Filsuf metafisika Barat, Søren Kierkegaard, bilang, “Kebahagiaan terbesar adalah ketika seseorang bersatu dengan dirinya sendiri dalam hubungan dengan Tuhan” (The greatest happiness is to become one with oneself in relation to God). Ini menunjukkan bahwa kebahagiaan sejati adalah kondisi batin, bukan hasil dari luar.
    Al-Qur’an menyatakan, “Ketahuilah, dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28). Kesulitan meraih kebahagiaan sering terjadi karena kita mencarinya di tempat yang salah—dunia luar yang fana, bukan kedamaian batin.
  4. Pertolongan Sejati
    Dalam metafisika, pertolongan sejati sering dikaitkan dengan kesadaran akan kekuatan ilahi atau esensi universal. Ibn Arabi, mistikus Islam, menulis, “Tidak ada pertolongan kecuali dari Allah, karena Dialah sumber segala wujud” (The Book of Divine Governance).
    Al-Qur’an memperkuat ini: “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya” (QS. At-Talaq: 3). Kesulitan terasa berat saat kita mengandalkan manusia atau diri sendiri semata, tanpa menyadari sumber pertolongan sejati.

Perspektif Ilmu Jiwa: Pola Pikiran dan Emosi dalam Kesulitan

Psikologi modern menawarkan penjelasan tentang mengapa kesulitan terasa nyata, dengan fokus pada mekanisme pikiran dan emosi manusia.

  1. Uang dan Harta
    Psikolog Abraham Maslow dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan menyebut bahwa rasa aman (termasuk finansial) adalah fondasi dasar sebelum mengejar kebutuhan yang lebih tinggi seperti makna hidup. Namun, Daniel Kahneman, peraih Nobel ekonomi, menemukan bahwa “setelah pendapatan mencapai titik tertentu, kebahagiaan tidak meningkat signifikan” (Thinking, Fast and Slow). Kesulitan tetap ada karena kita terjebak dalam perbandingan sosial dan ekspektasi yang tak realistis.
  2. Teman dan Pasangan Hidup
    John Bowlby, pencetus teori keterkaitan (attachment theory), bilang bahwa pengalaman awal kita dengan hubungan membentuk cara kita memandang pertemanan atau cinta di masa dewasa. Jika kita punya luka emosional—like penolakan—kita jadi sulit percaya, dan kesepian pun muncul.
    Dalam Islam, hubungan yang sehat dianjurkan: “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam cinta, kasih sayang, dan rahmat di antara mereka adalah seperti satu tubuh” (HR. Bukhari-Muslim). Kesulitan bisa jadi ujian untuk memperbaiki cara kita berinteraksi.
  3. Kebahagiaan
    Martin Seligman, bapak psikologi positif, bilang, “Kebahagiaan bukan hanya soal kesenangan, tapi juga makna dan keterlibatan dalam hidup” (Authentic Happiness). Namun, otak kita sering terjebak dalam hedonic treadmill—cepat beradaptasi dengan hal baik, lalu kembali merasa kurang.
    Dalam Islam, kebahagiaan sejati terkait dengan qana’ah (kepuasan hati). Rasulullah SAW bersabda, “Kaya bukan dari banyaknya harta, tetapi kaya adalah kaya hati” (HR. Bukhari-Muslim).
  4. Pertolongan Sejati
    Psikolog Carl Rogers menekankan pentingnya dukungan sosial dan penerimaan diri: “Ketika seseorang merasa didengar dan diterima, ia mulai menemukan kekuatan dalam dirinya” (On Becoming a Person). Tapi, banyak orang sulit terima pertolongan karena learned helplessness—merasa tak ada harapan setelah gagal berulang kali.
    Islam mengajarkan, “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS. Asy-Syarh: 6). Ini mengingatkan kita bahwa pertolongan ada, baik dari Allah maupun komunitas, asal kita terbuka menerimanya.

Sintesis: Mengapa Orang Merasa Sulit?

Dari metafisika, kesulitan adalah panggilan jiwa untuk kembali ke hakikatnya—mencari makna di luar dunia fana. Dari ilmu jiwa, kesulitan diperparah oleh pola pikiran negatif dan luka emosional. Dalam Islam, kesulitan adalah ujian sekaligus jalan menuju kedekatan dengan Allah.

Contohnya:

  • Ketika uang terasa kurang, metafisika bilang itu sinyal jiwa haus makna; psikologi bilang itu soal perbandingan sosial; Islam bilang itu ujian untuk bersyukur dan bertawakal.
  • Ketika teman atau pasangan tak memenuhi harapan, itu cermin batin kita (metafisika), pola keterkaitan yang rusak (psikologi), dan kesempatan memperbaiki akhlak (Islam).

Pertolongan sejati ada saat kita menyeimbangkan ketiga elemen ini: menyadari hakikat hidup, memahami diri, dan berserah kepada Allah. Seperti kata Ibn Qayyim Al-Jauziyah, “Di dalam hati manusia ada kekacauan yang tak bisa diperbaiki kecuali dengan menghadap kepada Allah” (Madarij As-Salikin).


Daftar Referensi

  1. Al-Qur’an: Terjemahan berbagai ayat (Al-Kahf: 46, Ar-Ra’d: 28, At-Talaq: 3, Asy-Syarh: 6).
  2. Hadits: HR. Bukhari-Muslim, HR. Abu Dawud.
  3. Aristoteles. (2009). Nicomachean Ethics. Oxford University Press.
  4. Ibn Arabi. (2004). The Book of Divine Governance. Terjemahan oleh Toshihiko Izutsu.
  5. Ibn Qayyim Al-Jauziyah. (1996). Madarij As-Salikin. Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah.
  6. Kahneman, D. (2011). Thinking, Fast and Slow. Farrar, Straus and Giroux.
  7. Kierkegaard, S. (1843). Either/Or. Penguin Classics.
  8. Maslow, A. H. (1943). “A Theory of Human Motivation,” Psychological Review.
  9. Rogers, C. (1961). On Becoming a Person. Houghton Mifflin.
  10. Seligman, M. E. P. (2002). Authentic Happiness. Free Press.