Ilustrasi Keraton Pakuan Pajajaran Ayodya Resrt Bali. Foto: ayodyaresortbali.com |
Kerajaan Pajajaran runtuh atau burak - runtag pada tahun 1579 yang diakibatkan serangan Kesultanan Banten. Masa kejayaan tinggal kenangan. Era Pajajaran berakhir ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (batu singgasana penobatan raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Sampai sekarang letak keraton Kerajaan Pajajaran masih misteri. Situs peninggalan kerajaan Pajajaran yang ditemukan yang dikenal sekarang ini dengan nama Prasasti Batutulis di Bogor. Para ahli menduga bahwa kampung Batutulis yang sekarang, adalah tempat puri kerajaan Pajajaran.
Dalam buku Mencari Gerbang Pakuan dan Menelusuri Situs Prasasti Batutulis karya Saleh Danasasmita diceritakan tentang pencarian keraton Pajajaran. Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang terjal dari ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota pakuan tersebut yang berlahan datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa-sisa benteng kuno kota pakuan Pajajaran yang paling besar. Penduduk setempat menyebutnya Lawanggintung sisa benteng kuno Kuta Maneuh.
Prasasti Batutulis yang telah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Perkembangan penelitian hingga tahun 1921 telah ada empat orang ahli yang meneliti isinya. Namun, hanya Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan penelitian fokus pada lokasi Pakuan, sementara yang lain hanya mendalami isi prasasti tersebut.
Gambaran Situasi Kerajaan dan Keraton Pakuan Pajajaran
Menurut laporan perjalanan Tome Pires (1513), masyarakat sehari-harinya menyebut ibukota kerajaan ini dengan sebutan “dayo” (dayeuh) seperti yang ia dengar dari masyarakat di Sunda Kalapa. Sedangkan dalam hal-hal yang bersifat resmi dan kesusastraan biasanya ibukota ini disebut dengan nama Pakuan.
Lokasi Pajajaran sejak abad ke-15 dan abad ke-16 dapat dilihat pada peta Portugis yang menunjukkan lokasinya di wilayah Bogor, Jawa Barat. Sumber utama sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik.
Asal-usul nama Pakuan sendiri beragam. Arti dari Pakuan Pajajaran itu sendiri bisa diartikan dalam berbagai versi, seperti menurut pendapat para ahli berikut ini yang dikutip dari Saleh Danasasmita (1983) dalam bukunya Sejarah Bogor (Bagian I):
Menurut Naskah Sunda Kuno Carita Waruga Guru (1750-an): Di lokasi kerajaan banyak terdapat banyak pohon Pakujajar. Sementara, menurut K.F. Holle (1869) dalam "De Batoe Toelis te Buitenzorg":
Di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku (beserta sungai yang memeiliki nama yang sama). Di sana banyak ditemukan pohon Paku. Jadi nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan Pohon Paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
Menurut G.P. Rouffaer, dalam "Encyclopedie van Niederlandsch Indie" edisi Stibbe tahun 1919:
Pakuan mengandung pengertian "Paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" ("spijker der wereld") yang melambangkan pribadi raja. "Pakuan" menurut Rouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" ("evenknie"). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit”
Menurut R. Ng. Poerbatjaraka (1921) dalam "De Batoe-Toelis bij Buitenzorg" (Batutulis dekat Bogor) :
Kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran berarti "istana yang berjajar ("aanrijen staande hoven").
Menurut H. Ten Dam (1957) dalam "Verkenningen Rondom Pajajaran" (Pengenalan sekitar Pajajaran) :
Pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia berpendapat bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota ("hoffstad") yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran" ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ditarik kesimpulan bahwa nama "Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ciliwung dan Cisadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran adalah Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Menurut Naskah Carita Parahiyangan: Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang Sri Ratu Dewata. (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Lokasi pusat dari Pajajaran terletak antara Sungai Besar dengan Sungai Tangerang (disebut juga Ciliwung dan Cisadane) yang sejajar. Lokasi Pakuan merupakan lahan dataran tinggi yang satu sisinya terbuka menghadap ke arah Gunung Pangrango. Tebing Ciliwung, Cisadane dan Cipaku merupakan pelindung alamiah.
Penggambaran kebesaran Kerajaan Pajajaran itu terlihat dari laporan perjalanan Abraham Van Reibeeck (tentara kompeni yang melakukan ekspedisi ke reruntuhan Istana Pakuan). Dia melintasi sebuah anak sungai yang arusnya tenang mengalir ke Cisadane, lalu melewati parit dalam, setengah jam perjalanan dari sungai tadi, mencapai tanggul atau jalan sempit mendaki dari dataran atas Pakuan. Pada kedua tepinya diapit oleh parit yang dalam dan mengerikan, dan dari benteng yang tinggi, di sanalah pernah berada Istana Pakuan.
Diperkirakan ada 5 bangunan keraton (panca persada) yang terdapat di ibukota kerajaan ini, masing-masing bernama: Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Suradipati merupakan keraton induk dari keraton-keraton tersebut. Keraton tersebut dikelilingi 330 pilar yang tingginya kira-kira 9 meter dengan ukiran indah di puncaknya.
Nama-nama keraton besar lainnya yang terdapat di luar kota Pakuan tetapi masih merupakan wilayah kekuasaan dari Pajajaran adalah Surawisesa (Kawali), Surasowan (Banten) dan Surakarta (Jayakarta / sebutan untuk Jakarta pada masa silam). Keraton-keraton yang berada di luar Pakuan, diserahkan pengurusannya pada kerajaan daerah di wilayah itu.
Kota Pakuan (sekarang bernama Bogor) dulu berpenghuni sekitar 48.271 jiwa, untuk jamannya merupakan kota terbesar kedua di Nusantara setelah Demak (berpenduduk 49.197 jiwa), dan masih dua kali lipat lebih banyak dari penduduk Pasai (23.121 jiwa) yang merupakan kota terbesar ketiga.
Tome Pires dari Portugis mencatat (saat berkunjung ke Pakuan), bahwa Kerajaan (Sunda) Pajajaran adalah negeri kesatria dan pahlawan laut. Sebutan tersebut dikarenakan para pelaut dari kerajaan Pajajaran telah mampu berlayar ke berbagai negara, sampai ke kepulauan Maladewa. Selain itu, Tome Pires juga menyimpulkan tentang prilaku orang Pajajaran di saat itu adalah menarik, kekar-tinggi, dan jujur. Beliau juga mengatakan di Ibu kota (Pakuan) tersusun rapi rumah-rumah yang indah terbuat dari kayu dan palem. Rumah disana biasanya berukuran besar.
Masa itu struktur arsitektural kampung sudah baku, unsur-unsur terpenting kampung adalah rumah adat (bumi ageung), rumah keluarga, bangunan penyimpanan dan pengolahan padi kolektif (leuit dan saung lisung). Mungkin masih ada bangunan-bangunan lain seperti rumah huma, bangunan penjagaan dan lain-lain, tetapi bukan merupakan unsur yang tipikal. Orientasi bangunan masih mentaati sisa-sisa pemujaan kesuburan dengan mengutamakan arahan-arahan Timur-Barat.
Kerajaan Pajajaran merupakan kerajaan besar yang memiliki wilayah jajahan yang sangat luas. Wilayahnya, apabila dipetakan sekarang meliputi 15 kabupaten, 11 kabupaten di wilayah Jawa Barat dan Banten sekarang, serta empat lagi diantaranya kabupaten di Jawa Tengah (Kabupaten Banyumas, Cilacap, Tegal, dan Brebes). Di bentangan luas wilayah tersebut terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang menjadi jajahan Pajajaran. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut diperkenankan mengelola seluruh hasil bumi dan kegiatan perekonomiannya.
Agama resmi yang dianut di Kerajaan Pajajaran adalah agama Hindu, tetapi sebenarnya saat itu agama leluhur sudah mulai kembali mendesak keberadaan agama Hindu. Keadaan tersebut membuat pemuka Hindu saat itu harus “kompromi” dengan ajaran leluhur. Salah satu bentuk kompromi tersebut adalah dengan diposisikannya Batara Seda Niskala di atas dewa-dewa Hindu. Batara Seda Niskala adalah sebutan lain untuk Hiyang, yaitu dewa tertinggi pada ajaran leluhur yang menciptakan, menguasai, dan menentukan kehidupan manusia dan kehidupan alam pada umumnya. Dia berada di luar alam kehidupan manusia, yaitu bersemayam di Kahiyangan. Sifat-sifat Hiyang tercermin dalam julukan-Nya, antara lain Batara Seda Niskala (Yang Gaib), Batara Tunggal (Yang Maha Esa), Sanghiyang Keresa (Yang Kuasa), Batara Jagat (Yang Menguasai Alam Semesta). Mereka pun membuat ajaran keyakinan, tata cara peribadatan kepada Hiyang, dan etika hidup keagamaan mereka sendiri. Ajaran keyakinan, tata cara peribadatan, dan etika hidup keagamaan mereka dinamai agama Jatisunda. Para penduduk yang tidak puas terhadap ajaran agama Hindu dan Budha, maka muncullah agama Jatisunda sebagai jalan keluarnya.
Cita-cita tertinggi umat beragama di Pajajaran adalah ingin bertemu dengan Hiyang (bukan dewa). Bertemunya dengan Hiyang tersebut dipercaya setelah seseorang meninggal, saat tubuh (wujud kasar) telah berubah menjadi sukma (wujud halus). Untuk mempercepat proses dari tubuh menjadi sukma maka dilakukan proses kremasi (pembakaran jenazah).
Pada perkembangannya, agama Hindu, Budha, dan Jatisunda kemudian terdesak oleh ajaran agama Islam yang mulai giat disebarkan oleh para ulama. Proses Islamisasi di tanah Sunda pada umumnya berjalan secara damai, kecuali untuk daerah-daerah Rajagaluh, Talaga (Majalengka), Pakuan (Bogor), dan Gunung Karang (Banten).
Masa awal Islamisasi di tanah Sunda diawali oleh kegiatan perguruan agama Islam di bawah asuhan ulama pendatang, seperti Syekh Hasanudin di Karawang dan Syekh Datuk Kahfi. Kemudian beberapa waktu kemudian dilanjutkan oleh syi’ar dari Sunan Gunung Jati dari Cirebon, Sultan Hasanuddin di Banten, Syekh Abdulmuhyi di Pamijahan (Tasikmalaya), Syekh Arif di Cangkuang (Garut), Sunan Godog di Suci (Garut), Sunan Cikadueun di Pandeglang, dan Aria Wangsagoparana di Sagalaherang (Subang).
Proses Hinduisasi di tanah Sunda (juga di Indonesia umumnya), bermula dari kalangan atas atau elite (keraton), tetapi sebaliknya proses Islamisasi bermula dari kalangan bawah atau rakyat biasa. Oleh karena itu, penganut agama Hindu dan Budha serta agama Jatisunda di kalangan bawah secara massal beralih agama menjadi penganut Islam. Beberapa persamaan prinsip antara agama nenek moyang (Jatisunda) dengan Islam, merupakan faktor pendorong bagi perkembangan agama Islam menjadi begitu pesat. Orang Sunda masa pra-Islam menemukan Hiyang sebagai Tuhan mereka. Ternyata rumusan dan sifat-sifat Hiyang itu, memiliki beberapa persamaan makna dan gambaran dengan rumusan makna dan gambaran Allah dalam ajaran agama Islam, yang berbeda menyangkut istilah-istilahnya semata. Yang paling prinsipil ialah keyakinan bahwa Tuhan itu ada dan hanya satu. Dalam ajaran Jatisunda, hal itu disifatkan dengan sebutan Batara Tunggal dan dalam ajaran agama Islam dirumuskan dalam ungkapan Allahu Ahad, Tuhan Yang Maha Esa.
Di Ibukota Pajajaran selalu diadakan upacara Gurubumi dan Kuwerabakti setiap tahunnya. Dalam upacara itu hadir para pembesar dan raja-raja daerah. Upacara Gurubumi dimulai 49 hari setelah penutupan musim panen dan berlangsung selama 9 hari dan kemudian ditutup dengan upacara Kuwerabakti pada malam bulan purnama. Raja-raja daerah harus datang dengan membawa barang antaran, ikut serta juga "Anjing Panggerek" (Anjing Pemburu). Biasanya dalam upacara ini diadakan semacam permainan berburu binatang di hutan yang dilakukan oleh para pembesar Kerajaan termasuk raja. Upacara Gurubumi yang di adakan 49 hari setelah panen dimaksudkan agar raja-raja daerah berkesempatan mengadakan upacara penutupan panen di daerahnya masing-masing sebelum berangkat ke ibukota Pakuan.
Dalam Kropak 406 disebutkan bahwa dari daerah Kandang Wesi (sekarang Bungbulang, Garut) harus membawa "kapas sapuluh carangka" (10 carangka = 10 pikul = 1 timbang) sebagai upeti ke Pakuan tiap tahun. Sedangkan menurut Kropak 630 dijelaskan, urutan pajak yang ada di Pajajaran adalah adalah dasa, calagra, upeti, dan panggeureus reuma.
Dasa adalah sistem kerja perorangan, Calagra berarti semacam kerja bakti, Upeti adalah semacam pajak daerah, sedangkan Panggeureus Reuma adalah hasil cuma-cuma tanpa usaha (hasil lebih) dari bekas ladang (padi yang tumbuh terlambat (turiang) di bekas ladang setelah dipanen dan kemudian ditinggalkan karena petani membuka ladang baru, menjadi hak raja atau penguasa setempat / tohaan). Panggeureus Reuma atau juga dinamakan pare dongdang (disebut seperti itu karena padi yang dibawa dengan cara digotong hingga berayun / dongdang) inilah yang dikategorikan sebagai barang antaran untuk Pakuan setiap upacara Gurubumi dan Kuwerabakti.
Pajak secara pemberian materi tidak dikenakan kepada rakyat secara perorangan, melainkan hanya kepada penguasa setempat. Sedangkan pajak yang dikenakan pada rakyat hanyalah pajak dalam bentuk tenaga dalam bentuk "dasa" dan "calagra". Tugas-tugas yang harus dilaksanakan untuk kepentingan raja diantaranya: menangkap ikan, berburu, memelihara saluran air (ngikis), bekerja di ladang atau di "serang ageung" (ladang kerajaan yang hasil padinya di peruntukkan bagi upacara resmi). Dalam kropak 630 disebutkan "wwang tani bakti di wado" (petani tunduk kepada wado). Wado atau wadwa ialah prajurit kerajaan yang memimpin calagra.
Kota Pakuan yang Ditinggalkan
Banyak kalangan masyarakat menganggap bahwa terjadi penyerangan yang menghancurkan di Kota pakuan, tragedi kemanusiaan yang tak terperikan dan mungkin imajinasi kita bisa lebih liar dari kenyatannya. Namun, sebenarnya ketika pasukan Kesultanan Banten dapat menjebol pertahanan kota pakuan, sesungguhnya kota telah ditinggalkan penduduknya. Justru, gambaran tindakan kekerasan yang tak terbayangkan oleh kita sekarang ini terjadi di mandala atau kabuyutan-kabuyutan. Untuk hal ini akan di bahas selanjutnya.
Lantas, mengapa sejarah tak terungkap? Sampai-sampai kita mencari ke berbagai sumber naskah yang mungkin semakin menjauhkan dari pengungkapan lokasi keraton pajajaran. Coba kita telusuri dari pihak Banten sendiri ketika penyerangan itu terjadi.
Mencari jejak kerajaan Pajajaran memang harus dilakukan melalui cara mengabungkan berbagai puzel yang terserak. Secara resmi, lokasi yang diajukan sebagai bekas peninggalan ibu kota Pajajaran (Pakuan) baru ditemukan Scipio seabad kemudian. Selain itu para sejarawan sering menarik benang merah dari naskah-naskah kuno, seperti Carita Parahyangan, Naskah Wangsakerta dan Serat Banten. Upaya lain yang ditemukan dilakukan melalui penulusuran sejarah lisan yang disampaikan turun temurun, seperti cerita pantuan atau keterangan para juru kunci. Namun dari alur ini adakalanya dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat mistis atau supranatural, sehingga penemuan sejarah malah menjadi kabur.
Keengganan mengungkap Sejarah atau Dihalang-halangi
Mermang sulit menemukan titik pusat kota pajajaran (pakuan), selain kota Bogor telah padat dihuni penduduk dan aktivitas ekonominya, juga masih kurangnya prioritas terhadap sejarah. Seperti di buatnya Real Estate di lokasi situs Rancamaya, padahal ketika itu sudah diyakini sebagai situs Pajajaran yang banyak disebut-sebut dalam catatan sejarah. Hal yang juga sama kondisinya, ketika para ahli menemukan lokasi percandian di daerah Batujaya, yang diyakini sebagai peninggalan masa Kerajaan Tarumanagara, lebih tua dari candi manapun di Indonesia, saat ini sudah dipastikan terdapat 26 candi, namun sayangnya masalah pemugarannya masih terkendala, dengan alasan belum ada biaya. Aneh bukan? Kenapa tidak mengajuka ke UNESCO kalau memang tidak punya biaya?
Masalah yang mungkin menghambat terkait dengan penemuan jejak Pajajaran adalah adanya keyakinan yang terkait dengan masalah relijius atau keengganan untuk menguak kebenaran dari kesejarahan Pajajaran. Hampir semua sejarah di Jawa Barat hanya bisa kita dapati sejak kehadiran Sunan Gunung Jati atau setidaknya menyebutnya. Periode lebih awalnya seakan hilang "ditelan bumi". Hal ini penulis rasakan sendiri ketika berupaya mengungkap kesejarahan Kerajaan Sindangkasih di Kota Majalengka, Jawa Barat. Berbagai pihak acuh tak acuh alias skeptis kalau tidak disebut sebagai upaya menghalang-halangi. Bukti catatan sejarah sudah penulis "kantongi"
Didalam Pustaka Nusantara III/1 dan Kretabumi I/2 menyebutkan runtuhnya Pajajaran terjadi pada pada tanggal 11 bagian terang bulan Wesaka tahun 1501 Saka, bertepatan dengan tanggal 8 Mei 1579 M. Naskah tersebut menjelaskan :
“Pajajaran sirna ing ekadaÅ›a Å›uklapaksa Wesakamasa sewu limang atus punjul siki ikang Åšakakala”. Sedangkan “Runtagna” Pajajaran didalam naskah “Waruga Jagat” dan naskah “Pancakaki Masalah Karuhun Kabeh” disebutkan : "Pajajaran burak pada tahun jim akhir".Sejalan dengan naskah tersebut, didalam serat Banten diceritakan pula tentang keberangkatan pasukan Banten ketika melakukan penyerangan ke Pakuan dengan pupuh Kinanti, terjemaahaannya :
"Waktu keberangkatan itu (pasukan Banten) terjadi pada bulan Muharam tepat pada awal bulan hari Ahad tahun Alif inilah tahun Sakanya satu lima kosong satu".Banyak para ahli sejarah yang mencari penyebab dapat direbutnya Pakuan, sekalipun telah ditinggalkan 12 tahun oleh rajanya, benteng Pakuan yang di bangun pada Sri Baduga tersebut masih berdiri kokoh. Namun untuk saat ini kisah yang dimuat dalam Serat Banten menjadi masuk akal. Konon kabar perisiwa ini hampir sama dengan cerita “kuda troya”.
Pakuan dapat mudah dibobol setelah terjadinya penghianatan yang dilakukan oleh Komandan yang mengawal benteng Pakuan yang merasa sakit hati karena tidak memperoleh kenaikan pangkat. Secara kebetulan Sang Komandan saudara dari Ki Jongjo, seorang kepercayaan Maulana Yusuf. Ketika malam tiba, sang komandan membuka pintu benteng dari dalam, ia mempersilahkan pasukan Banten masuk, sehingga tanpa disadari para penghuni Pakuan, pasukan Banten sudah berada ditengah-tengah mereka. tapi.. tunggu dulu! ada kisah yang kontradiktif dlam hal ini. Kata "penghuni" di pakuan menjadi kontroversi dengan pernyataan sebelumnya bahwa Kota Pakuan telah "ditinggalkan". Mengapa bisa begitu?
Memang dalam catatan sejarah banyak rangkaian yang menyebabkan runtuhnya Pajajaran. bermula dari masalah intern Kadatuan Pajajaran sampai dengan adanya alasan Cirebon, Demak dan Banten untuk mengislamkan Pajajaran. Selain hal tersebut, ada beberapa akhli yang menilik lebih jauh, bahwa kejatuhan Pakuan tidak terlepas dari keinginan Hasanudin yang ingin menaklukan Pajajaran dan mengingkari perjanjian yang dibuat pada masa Jayadewata dengan para penghulu Demak, Banten dan Cirebon. Yang jelas hal ini pun tidak dapat dilepaskan dari adanya invasi perdagangan para Saudagar Islam di wilayah Pasundan. Kepentingan ekonomi.
Penyerangan Kesultanan Banten terhadap pusat Pakuan pajajaran adalah klimaks dari proses "blokade" yang panjang dari Kesultanan Demak, Cirebon dan Banten. Sudah sejak lama Pajajran diblokade ekonominya dengan direbutnya pusat-pusat perekonomian Pajajan. Mulai dari Pelabuhan Sunda Kelapa, Cirebon, Cimanuk dan Cihaliwung. Praktis rakyat Pajajaran menjadi mederita dan kelaparan. Secara berangsur, penghuni Kota Pakuan yang berada di pedalaman pulau Jawa yang terisolasi ini tidak lagi memberikan kehidupan yang layak. Kisah perpindahan ini didapati dari cerita sesepuh Sunda (pupuhu) di beberapa kabupaten, seperti Sumedang, Sukabumi, Majalengka, Garut, Tasimalaya, Ciamis dan Majalengka.
Tujuan pelarian dari para penghuni kota Pakuan Pajajaran adalah kerajan-kerajan yang berada di pedalaman (tengah pulau Jawa) dan pesisir selatan Jawa yang masih belum tersentuh kekuasaan Cirebon-Demak. Paling banyak mereka mengungsi ke Kawali, di Kerajaan Galuh, Ciamis sekarang. Perjalanan pengungsian melalui jalur perbukitan dan gunung-gunung. Mereka tidak dapat berlayar melalui pelabuhan sungai dan laut karena telah dikuasi kerajaan Cirebon-Demak. Sungguh terbayang perjuangan mereka.
Kesultanan Banten telah lama berusaha menembus benteng pertahanan Pakuan, namun gagal. Pengrusakan Mandala (kemandalaan) dan kabuyutan-kabuyutan (tempat suci ajaran Jati Sunda) dan pembunuhan para Purahita atau guru resi (guruloka) dilakukan. Maksudnya untuk memancing pasukan Pajajaran keluar dari Pakuan. Mereka mengetahui bahwa tempat-tempat suci tersebut diindungi kerajaan. Namun, Pajajaran sudah terlalu lemah untuk dapat melindungi kemandalaan dan kabuyutan-kabuyutan yang ada di Tatar Pasundan, Parahyangan. Mereka hanya berdoa semoga para Hyang untuk melindunginya..
Dari rangkaian peristiwa ini Pajajaran Sirna ing Bumi, ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana, suatu batu yang kerap dijadikan singgasana raja-raja Pajajaran ketika dinobatkan. Batu tersebut diboyong oleh pasukan Panembahan Yusuf ke Surasowan - Banten lama. Dengan diboyongnya batu tersebut bertujuan politis agar tidak ada lagi raja pajajaran yang dilantik. Dilain sisi memberikan legitimasi kepada Maulana Yusuf sebagai penerus kekuasaan Pajajaran yang sah, karena Maulana Yusup juga masih dianggap “teureuh” Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman Sriwacana saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surasowan Banten lama. Orang Banten menyebutnya watu gigilang, berarti mengkilap atau berseri, sama artinya dengan “sriman”.
Perihal batu Palangka Sriman Sriwacana dikisahkan dalam Carita Parahyangan, sebagai berikut :
Sang Susuktunggal inyana(Sang Susuktunggal beliau - yang membuat tahta Sriman Sriwacana - (untuk) Sri Baduga Maharaja - ratu penguasa di Pakuan Pajajaran - yang bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, - yaitu istana Sanghiyang - Sri Ratu Dewata).
nu nyieuna palangka Sriman Sriwacana
Sri Baduga Maharajadiraja
Ratu Haji di Pakwan Pajajaran
nu mikadatwan Sri Bima Punta
Narayana Madura Suradipati,
inyana Pakwan Sanghiyang
Sri Ratu Dewata.
Istilah "palangka" berarti tempat duduk atau "tahta". Dalam tradisi Pajajaran digunakan pada upacara penobatan. Di atas batu palangka para calon raja diwastu atau diberkati oleh Purohita sebagai tanda diistrenan (dilantik atau dinobatkan). Letak palangka berada di kabuyutan kerajaan dan tidak di berada dalam istana. Batu palangka terbuat befrbentuk yang digosok menjadi halus dan mengkilap. Dalam perjalanan selanjutnya, masyarakat sunda menyebutnya batu pangcalikan atau batu ranjang. Sebagaimana yang ditemukan di makam kuno dekat Situ Sangiang - Cibalarik Sukaraja Tasikmalaya dan di Karang Kamulyan bekas pusat Kerajaan Galuh. Sedangkan batu ranjang ditemukan di Desa Batu Ranjang Cimanuk, Pandeglang (ditengah sawah).
Sebagian penduduk Pakuan yang ada pertalian darah dengan keluarga keraton, ikut mengungsi dengan satu-satunya raja yang bersedia meneruskan tahta Pajajaran, yaitu Sang Ragamulya Suryakancana, putra Prabu Nila kendra. Ia mengungsi ke wilayah barat laut, tepatnya di lereng Gunung Pulasari Pandeglang, Kampung Kadu Hejo, Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang.
Menurut legenda “Kadu Hejo,” di daerah Pulasari (tempat situs Purbakala) terdapat peninggalan seorang raja tanpa membawa mahkota. Didalam kisah lainnya, atribut dan mahkota raja Pajajaran tersebut diselamatkan oleh Jayaperkosa dan saudara-saudaranya, sedangkan Sang Ragamulya memerintah tanpa mahkota, karena iapun memerintah sebagai raja pendeta, tetapi akhirnya dihancurkan Pasukan Banten yang menyerang kerajaan itu. Bagi Jayaperkosa dan adik-adiknya, diboyongnya batu Palangka bukan berarti berakhirnya trah raja-raja Pajajaran untuk berkuasa di tatar Sunda, sebab ia masih sempat memboyong atribut (pakaian) raja Pajajaran ke Sumedang Larang. Dikelak kemudian hari Geusan Ulun diistrenan sebagai pewaris sah raja Pajajaran, ia juga dipercaya sebagai pemegang 44 Kandaga Lante dan 8 Umbul. Namun sayang Pangeran Arya Suriadiwangsa, putranya (ada juga yang menyebutkan putra trtinya) menyerahkan Sumedang kepada Sultan Agung Mataram, tanpa syarat apapun, sehingga tatar Sunda menjadi praktis menjadl Vasaal Mataram (bawah kerajaan Mataram) dan posisi jabatan raja menjadi Bupati saja.
Puing Kerajaan
Perkiraan bekas Kadatuan Pajajaran ditemukan kembali selang satu abad kemudian, oleh ekspedisi Scipio (1 September 1687), dalam bentuk puing yang diselimuti oleh hutan tua. Dalam laporan Gubernur Belanda dijelaskan, bahwa istana tersebut terutama tempat duduk raja dikerumuni dan dirawat oleh sejumlah besar harimau. Dari sinilah dimungkinkan munculnya mitos, bahwa pasukan atau tentara pajajaran berganti wujud menjadi harimau.
Ketika melakukan penelitian tersebut Scipio diantar Penduduk Kedunghalang dan Parung Angsana sendiri, mereka kemudian diakui sebagai peziarah pertama setelah Pakuan dinyatakan hilang. Tak heran, mereka menduga puing kabuyutan Pajajaran yang mereka temukan sebagai singgasana raja.
Hal yang berkaitan tentang sakralnya singgasana tersebut diceritakan pula oleh Abraham van Riebeeck (1703), dia melihat adanya sajen yang diletakkan di atas piring di kabuyutan tersebut. Sehingga ditafsirkan pula sejak ditemukan kembali oleh Scipio masyarakat merasakan menemukan kembali Pajajaran yang telah hilang. Perlu digarisbawahi, "adanya sajen". Sebenarnya sebagain penduduk tatar Sunda masih mengetahui lokasi pakuan? Mungkin saja. Namun tidak disebarluaskan, kecuali oleh Scipio - Belanda.
Kemudian pada tahun 1709, Van Riebeeck melihat adanya ladang baru pada lereng Cipakancilan. Disini menemukan adanya tanda-tanda kehidupan baru di bekas Pakuan. Diperkirakan peladang tersebut akan membuat dangau tempat tinggalnya pada tepi alur Cipakancilan. Dengan demikian orang belanda telah mengetahui jauh-jauh hari nama Pakuan, Pajajaran dan Siliwangi dua abad sebelum nama Pakuan Pajajaran diketahui lewat pembacaan prasasti batu tulis oleh Friederich pada tahun 1853.
Pakuan bagi sebagaian besar masyarakat Sunda bukan hanya sekedar lokasi kerajaan, melainkan menyimpan berjuta kenangan tentang kejayaan Pajajaran di masa lalu yang lengkap dengan tingginya kebudayaan, bahkan masih banyak masyarakat Sunda yang menganggap bahwa sebenarnya Kerajaan Pajajaran tidak runtuh, tapi tilem alias ngahiyang.
Namun apapun masalahnya, mungkin ada kata-kata bijak yang diyakini sebagai Uga Wangsit Silihwangi, tentang sikap yang harus dilakukan masyarakat Sunda:
Lalakon urang ngan nepi ka poé ieu, - najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! - Tapi ngaing henteu meunang mawa dia pipilueun, - ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar. - Dia mudu marilih, pikeun hirup ka hareupna, - supaya engké jagana, jembar senang sugih mukti, - bisa ngadegkeun deui Pajajaran ! - Lain Pajajaran nu kiwari, tapi Pajajaran anu anyar, - nu ngadegna digeuingkeun ku obah jaman! Pilih !Leuwih Iwangan kurang tinabeuhan, Pun.
Cag
Referensi
- Kerajaan Pajajaran. westjavakingdom.blogspot.co.id
- Beginilah Keraton pakuan Pajajaran (Masa Keeemasan - Kreta Yuga) ystoryana.blogspot.co.id