Taman Zaman - Kajian mengenai jenis Makhluk halus telah tersebar di dunia maya. Artikel ini merupakan kelanjutan dari "Ruwatan Ala Budaya Jawa: Orang-orang yang Harus Diruwat #1".
Orang Jawa percaya ada beberapa macam roh: roh leluhur, dhayang (roh pelindung desa), memedi (roh jahat yang sering menakuti-nakuti manusia), lelembut (roh yang mengisi manusia, binatang, pepohonan dan benda-benda lain), dhemit (roh yang ada di persimpangan jalan, sumur dsb.), dan thuyul (setan kecil, biasanya gundul dan tidak berpakaian. Penjelasan lebih rinci mengenai macam-macam roh itu dapat dilihat dalam Cliford Geertz, the religion of Java [Chicago and London: The University of Chicago Press, 1960] 16-29).
Dalam kaitan keberadaan makhluk halus, dalam cara pandang budaya Jawa, memerlukan keselarasan. Ini penting dipahami, bahwa kejahan dan evil dalam budaya Jawa sangat berbeda dengan cara pandang Al-Kitabiah (Abrahamik). Untuk mengatasi berbagi "ketidakselaran" dengan alam lain dan makhluk halus, biasanya dilakukan acara ruwatan dan slametan. Slametan biasa dilakukan pada momen-momen seperti: hamil tujuh bulan, kelahiran, sunatan, masuk masa akil balik, naik jabatan, pindah rumah, saat panen, pembukaan usaha, menderit penyakit, kematian (hari ke-3, 100, dan 1000) dan sebagainya. Selain keselarasan dengan roh-roh, melalui doa-doa dan sesajen, keselarasan dengan sesama juga menjadi tujuan dilaksanakan slametan.
Penjelasan tadi sesuai dengan worldview manusia Jawa yang memandang dunia ini—baik alam natural maupun supranatural—sebagai satu kesatuan seperti yang dituturkan oleh Magnis Suseno:
Yang khas dari pandangan dunia Jawa ialah bahwa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan sama sekali, melainkan bahwa realitas dilihat sebagai suatu kesatuan yang menyeluruh . . . dunia, masyarakat, dan alam adikodrati bagi orang Jawa bukanlah tiga bidang yang relatif berdiri sendiri dan masing-masing mempunyai hukumnya sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan pengalaman.
Oleh sebab itu, tugas manusia Jawa ialah membangun keselarasan dengan Tuhan, sesamanya, roh-roh dan alam semesta. Bagaimana orang Jawa membangun keselarasan, akan dijelaskan sebagai berikut:
- Orang Jawa membangun keselarasan dengan Tuhan melalui dua hal. Pertama, melalui hidup yang tidak neko-neko (tidak lazim, melawan tatanan dan kebiasaan yang telah ada), tetapi narima (menerima), rila (rela) dan pasrah terhadap apa pun yang mereka alami. Bagi orang Jawa hidup setiap manusia telah digariskan, dan oleh sebab itu mereka mengikuti nasib yang sudah digariskan itu. Kedua, usaha untuk membangun keselarasan dengan Tuhan adalah dengan menyatu kembali dengan-Nya. Manusia Jawa percaya bahwa manusia adalah emanasi (aliran) dari Tuhan. Seperti sebuah bibit yang jatuh dari pohon lalu tumbuh, demikian jugalah manusia. Manusia dianggap berasal dari Tuhan dan harus kembali menyatu pada-Nya (manunggaling kawula-Gusti/bersatunya saya dan Tuhan). Bertapa, menyepi, belajar dari seorang guru (seorang yang memiliki kemampuan supranatural) adalah jalan penyatuan kembali dengan Tuhan.
- Orang Jawa membangun relasi dengan roh-roh: melalui mengadakan slametan (sebuah acara makan bersama secara sederhana dengan mengundang para tetangga), memberikan sesajen (antara lain di persimpangan jalan dan pekuburan), mengadakan ritual tertentu (sebelum menanam atau memanen padi, bersih desa, melarung [membuang] sesajen ke laut), bahkan pementasan wayang kulit pun dianggap sebagai usaha untuk menjalin keselarasan dengan dunia roh.
- Orang Jawa membangun keselarasan dengan sesama manusia melalui: Pertama, bersikap rukun dengan orang lain yang diwujudkan dengan: (a) selalu berusaha mengontrol emosi dan berlaku tenang. (b) jika tidak setuju dengan pendapat atau perkataan orang lain sedapat mungkin tidak berkata “tidak” tetapi inggih (ya). (c) orang Jawa, bila berhubungan dengan orang di luar keluarga inti, sedapat mungkin tidak memperlihatkan perasaan yang sebenarnya (mis. marah atau sedih). Sikap semacam ini disebut dengan ethok-ethok (pura-pura). (d) orang Jawa biasa menyapa orang lain, bahkan orang asing dengan sapaan yang penuh persaudaraan seperti mbah (kakek), pak de (kakak laki-laki orang tua), pak lik (adik laki-laki orang tua), bu de (kakak perempuan orang tua), bu lik (adik perempuan orang tua), mbak (kakak perempuan), mas (kakak laki-laki), dan dhik (adik). (e) orang Jawa selalu menekan musyawarah dibanding pemaksaan kehendak dan pengambilan suara terbanyak. Kedua, yang menonjol dari budaya Jawa adalah sikap hormat. Setiap orang Jawa diharapkan sadar di mana tempatnya dalam masyarakat dan menunjukkan sikap hormat terhadap orang yang lebih tua atau berkedudukan lebih tinggi. Sikap hormat itu antara lain diwujudkan melalui penggunaan jenis bahasa yang berbeda tergantung dengan siapa mereka berbicara. Jenis-jenis bahasa Jawa menurut urutan dari yang kurang halus kepada yang lebih halus adalah ngoko, krama, krama inggil. Semakin senior seseorang atau status sosialnya, orang tersebut harus disapa dengan bahasa yang paling halus.
- Dengan alam semesta, orang Jawa berusaha membina keselarasan dengan mengikuti primbon (astrologi jawa) yang mengatur apa yang mereka kerjakan (mis. penentuan waktu menikah, pindah rumah, mengadakan slametan dan sebagainya).
Kejahatan menurut Pandangan Dunia Jawa
Mitos Murwakala mengandung pengajaran mengenai asal-mula kejahatan (evil) di dalam kosmogoni Jawa. Dalam cerita ini, evil dilambangkan dengan sosok raksasa Batara Kala yang buas dan menyeramkan. Memang dalam pewayangan, para raksasa biasanya dianggap sebagai sosok yang jahat. Namun, kita harus “berhati-hati” dalam mengerti konsep evil menurut pandangan dunia Jawa. Bagi orang Jawa, kejahatan bukanlah lawan dari kebaikan, karena orang Jawa tidak mengenal evil in itself melainkan mereka kenal dengan kejahatan adalah “keterbelengguan karena kutukan atau hukuman.” Biasanya, para raksasa yang jahat adalah para dewa yang karena melakukan sesuatu kesalahan lalu dihukum menjadi raksasa (seperti halnya Batari Uma), dan nantinya dapat saja diruwat kembali menjadi dewa. Kesalahan itu biasanya disebabkan karena ketidaktahuan atau kekurangdewasaan (bukan karena natur dosa).Menurut cara pandang orang Jawa, kejahatan adalah “kekurangan dari sang kebaikan” atau “kebaikan yang kurang.” Lebih lanjut lagi, orang dunia Jawa memahami evil sebagai “sikap yang kurang pantas/ tidak sesuai dengan statusnya”yang merusak keselarasan yang ada. Siapa pun itu, entah dewa atau manusia harus menjaga diri agar hidup sesuai dengan status dan tempatnya dalam tatanan yang sudah ada. Jika tatanan itu dilanggar, saat itulah kejahatan bermula dan chaos (kekacauan) pun timbul.
Dalam kisah Murwakala “kejahatan” itu dimulai dengan sikap Batara Guru yang memaksakan nafsunya kepada Batari Uma di atas lembu Andini. Padahal sikap itu tidak sesuai dengan statusnya sebagai dewa tertinggi. Dalam epos pewayangan Mahabrata dikisahkan dua kelompok yang bermusuhan, yaitu Pandawa melawan saudara-saudara sepupu mereka, Kurawa.
Dalam epos itu Kurawa, tokoh antagonis, tidak dianggap jahat tetapi “kurang baik” karena mereka tidak bisa menjaga diri dari keserakahan dan hawa nafsu sehingga dianggap “tidak pantas.” Sebaliknya, kubu Pandawa dianggap lebih baik karena sanggup menjaga diri mereka dari kecerobohan dan ketidaksabaran. Pandawa diperdaya berkali-kali namun tetap menerima nasib dengan rela, sabar, dan tabah.
Selain mengejar keselarasan, secara umum, manusia Jawa juga mengejar delapan hal yang disebut sebagai asta brata, yaitu:
- wanita atau wanodya kang puspita (wanita yang cantik jelita) yang didambakan oleh para lelaki Jawa;
- garwa atau sigaraning nyawa (belahan jiwa/jodoh);
- wisma (rumah);
- turangga (kuda) atau kendaraan;
- Curiga (keris) adalah simbol kepandaian, keuletan, dan ketangkasan di dalam menghadapi segala tantangan hidup;
- Kukila (burung perkutut) merupakan simbol hobi sekaligus suara merdu perkutut merupakan simbol perkataan manusia yang enak didengar dan tidak menyakiti hati lawan bicaranya;
- Waranggana (penari Ronggeng); penari (wanita) Ronggeng biasanya dikelilingi oleh empat pria yang merupakan simbol dari empat hal yang menggoda manusia yaitu: amarah (nafsu yang timbul dari telinga), aluamah (nafsu yang timbul dari keinginan mulut, keserahakan), sufiah (nafsu yang timbul karena mata), dan mutmainah (nafsu yang timbul karena hidung). Seorang manusia Jawa harus bisa menahan diri dari nafsu itu agar bisa mewujudkan cita-cita yang luhur;
- pradangga (suara gamelan) yang melambangkan, sekali lagi, keselarasan karena gamelan itu terdiri dari bermacam-macam alat musik, namun bila dimainkan dengan selaras akan menghasilkan suara yang indah (lih. Budiono Herusatoto, simbolisme dalam Budaya Jawa [Yogyakarta: Hanindita, 2005] 80-102).
Di dalam pementasan wayang kulit biasanya anak-anak wayang Kurawa diletakkan di sebelah kiri sang dalang sedangkan anak-anak wayang Pandawa ditaruh di sebelah kanan. (Darmaputera, Pancasila: identitas dan Modernitas 73-74). Memang di akhir cerita kelompok yang “lebih baik” menang; kelompok Kurawa dibasmi oleh kelompok Pandawa. Namun, akhirnya kelompok Pandawa pun habis, mati kelelahan dalam perjalan menuju Gunung Mahameru (gunungnya para dewa). Yang tertinggal adalah Yudisthira seorang diri dengan seekor anjingnya. Setelah kejahatan habis, maka kebaikan pun habis. Kejahatan pun seolah dianggap sebagai pelengkap kebaikan. Tanpa kejahatan, kebaikan pun tak ada lagi. Hal ini menunjukkan bahwa pandangan dunia Jawa menerima fakta bahwa “kejahatan” adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat manusia (Magnis-Suseno, etika Jawa 166).
Selain itu, beberapa hal yang merupakan pedoman kehidupan orang Jawa antara lain: alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asalkan sampai/terlaksana); sapa nandur bakal ngunduh, sapa gawe bakal nganggo (siapa yang menanam memetik, yang membuat akan memakai); Becik ketithik, ala ketara (yang baik maupun yang jahat pada akhirnya akan ketahuan juga); sepi ing pamrih, rame ing gawe (banyak berbuat sesuatu tanpa pamrih); Mikul dhuwur, mendem jero (menghormati orang tua atau atasan dengan tidak mengungkit-ungkit kesalahan mereka) (Sastrosupono,” 9-18).
Konsep tentang Tuhan dalam pandangan dunia Jawa tidak terlalu jelas. Orang Jawa mengenal Tuhan sebagai sesuatu yang transenden, yang diungkapkan dengan tan kena kinaya ngapa (tak dapat disebutkan/disamakan dengan apa pun juga). Tuhan sering kali diungkapkan secara negatif: tanpa nama, tanpa tempat, tanpa bentuk, tanpa wujud. Baru setelah orang Jawa mengenal Hinduisme mereka menyebut Tuhan sebagai Hyang dengan sebutan-sebutan: Hyang Wisesa, Hyang Manon, juga Hyang Wenang.